Rabu, 06 Agustus 2008

Majalah Rumah Jogja edisi 15


RUMAH-RUMAH MEWAH MERIAH
Edisi lalu Rumah Jogja menyajikan menu utama berupa “Labirin Kemewahan”. Sebuah artikel yang mengulik sisi kemewahan dari berbagai perumahan yang sepertinya tidak ada habisnya, laiknya sebuah labirin yang sulit ditemukan pangkalnya. Pada sajian kali ini kemewahan itu menemui ujungnya. Pembahasan tentang rumah mewah dan segala pernak-perniknya akan berakhir pada edisi Agustus ini.
Eksistensi Rumah Mewah
Bagaimana cara membaca eksistensi rumah mewah di tengah-tengah belantara sosial kota Jogja? Pertanyaan tersebut haruslah dijawab dengan cara membuka berbagai pancuran sudut pandang. Memandang rumah mewah dari sisi bisnis saja rasanya akan menjadi janggal jika dikaitkan dengan lingkup sosial yang mengitarinya. Dibutuhkan berbagai kacamata untuk memandang eksistensi sebuah rumah mewah.
Rumah mewah pada kenyataannya adalah satu tanggapan dari kebutuhan yang muncul di tengah masyarakat. Masyarakat meminta, maka para pengembang menyajikanannya. Hukum ekonomi klasik yang sudah diajarkan oleh guru ekonomi di bangku SMP mampu memberikan jawabnya, bahwa jika ada permintaan, maka akan muncul penawaran. Namun, pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah, masyarakat kelas mana yang mampu memunculkan kebutuhan akan rumah mewah? Dalam edisi lalu sudah sedikit disinggung mengenai bagaimana rumah mewah muncul. Rumah mewah muncul sebagai kebutuhan tersier atau kebutuhan mewah. Dengan kata lain kebutuhan primer dan sekunder jelas sudah mampu tercukupi. Berangkat dari uraian tersebut secara otomatis dapat memberikan jawaban dari pertanyaan “dari kelas masyarakat manakah yang mampu memunculkan kebutuhan akan rumah mewah?”. Jawabannya sudah sangat gamblang bahwa rumah mewah muncul pada masyarakat yang sudah terbebas dari kebutuhan primer dan sekunder. Dalam bahasa ilmu sosial disebut sebagai kelas menengah ke atas. Maka, rumah mewah lantas identik dengan kelas menengah ke atas atau kelas sosial masyarakat yang sudah mapan.
Kelas menengah ke atas jumlahnya ternyata cukup banyak terdapat di Yogyakarta, parameternya berdasarkan kredit pemilikan rumah. Menyitir pendapat R. Hendriono, kepala cabang Bank BTN Yogyakarta menyebutkan bahwa peminat rumah mewah jumlahnya cukup banyak. Posisi mereka menggeser pengkredit rumah di kalangan bawah. Hal ini cukup membuktikan kalau tingkat kesejahteraan masyarakat Jogja lumayan baik. Walaupun, tetap saja kita harus menelan pil pahit karena negara kita tercinta tetap termasuk dalam kategori miskin. Tapi, apakah hal ini cukup relevan mengukur tingkat kesejahteraan hanya berdasarkan kredit kepemilikan rumah mewah? Tentu saja tidak. Kredit kepemilikan rumah mewah hanya digunakan sebagai salah satu parameter “tak resmi”.
Rumah mewah biar bagaimanapun adalah sebuah fenomena sosial yang sangat menarik. Eksistensinya adalah sebuah kontradiksi yang cukup mencengangkan. Harganya yang selangit tidak pernah kehilangan konsumen. “Yang membeli akan tetap ada. Bisnis penjualan rumah adalah seperti sebuah piramida,” terang Widhi dari PT. Roda Pembangunan Jaya. “Grafiknya akan berbentuk seperti piramida. Semakin murah harga sebuah rumah, maka akan semakin banyak peminatnya. Begitu pula sebaliknya, “ terang Widhi melanjutkan penjelasan sebelumnya.

Rumah Mewah dan Denyut Pendidikan

Eksistensi rumah mewah ternyata tidak mampu berdiri sendiri. Keberadaannya disokong oleh berbagai hal. Salah satu faktor penunjang terbesar ternyata berasal dari dunia yang rasanya agak cukup jauh untuk dikait-kaitkan, yaitu dunia pendidikan. Pendidikan yang baik ternyata berhubungan erat dengan naiknya bisnis properti, termasuk di dalamnya adalah pengadaan rumah mewah. Cap yang melekat di tubuh kota Jogja sebagai gudangnya pendidikan menjadi satu kutub magnet yang mampu menarik minat pendatang untuk mempercayakan sisi keilmuannya ditempa di kota gudeg ini.
Sejauh ini Jogja masih menjadi pilihan utama bagi siapapun untuk menempuh pendidikan tinggi. Selain karena kualitas pendidikan yang dijanjikan bermutu, juga karena faktor biaya hidup yang lebih murah dibandingkan dengan kota besar lain di Indonesia. Adanya Universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri tertua di kota ini diakui oleh khalayak sebagai magnet terbesar. Setiap tahun calon mahasiswa baru yang mendaftar masuk ke universitas ini berjumlah ribuan. Hal ini belum ditambah dengan keberadaan universitas lain, baik negeri maupun swasta, yang ada di kota Jogja. Kuantitas pendatang bisa saja berkurang, akan tetapi adalah satu hal yang sulit terjadi jika gelombang pendatang tersebut sama sekali terhenti.
Celah seperti ini dipandang sebagai peluang pasar yang begitu menggiurkan. Lihat saja keadaan di sekitar kampus. Dapat dipastikan muncul usaha-usaha yang melengkapi kebutuhan anak-anak kampus. Sebut saja rumah kos, kontrakan, layanan pencucian baju, warung makan, warung internet dan juga penyewaan cakram kompak film maupun musik. Usaha-usaha kecil seperti yang telah disebutkan sebelumnya merupakan bentuk respon pengusaha terhadap kebutuhan yang muncul.
Usaha-usaha yang telah disebutkan di atas memang baru berskala kecil. dalam skala yang lebih besar, kampus juga mampu memompa denyut usaha properti. Pengusaha hunian berlomba menyediakan tempat tinggal dari yang kelasnya sederhana hingga yang mewah tak terkira. Bisnis berskala besar ini juga merupakan sebuah tanggapan dari munculnya kebutuhan akan hunian di sekitar kampus. Mahasiswa adalah sasaran tembak yang paling utama dari berputarnya roda bisnis properti di daerah seputaran kampus. Walaupun secara matematis sebagian besar mahasiswa belum mampu membeli rumah, akan tetapi para pebisnis dunia properti melihatnya dari sudut yang lain. Sebagian besar mahasiswa secara finansial memang masih disokong oleh para orang tua. Orang tua juga tidak mau mempertaruhkan anak-anaknya tinggal di daerah dengan daya jangkau antara hunian dengan kampus begitu jauh. Maka, tidak heran jika di daerah, sekadar contoh, Seturan sering dijumpai mahasiwa yang mengontrak rumah sendiri.
Banyak mahasiswa yang memilih untuk mengontrak rumah daripada kos. Harganya bermacam-macam mulai dari lima juta rupiah per tahun hingga yang berharga sepuluh juta rupiah. Bahkan, tak jarang ditemui orang tua yang justru memilih untuk membelikan rumah bagi anaknya daripada mengontrak. “Ada beberapa orang tua yang justru memilih untuk membelikan anaknya rumah di Jogja dengan pertimbangan biaya kontrak lebih baik digunakan untuk membayar cicilan rumah, “ terang Arno Swandono dari PT. Merapi Arsitagraha.
Lalu apa hubungannya rumah mewah dengan keberadaan institusi kampus? Semuanya telah terang-benderang. “Pembeli kita sebagian besar malah berasal dari luar Jawa,” tutur Bambang Sudarmanto pemilik PT. Sarwo Indah. “Mereka biasanya membelikan rumah bagi anak-anaknya yang menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta,” imbuh Bambang yang mengembangkan perumahan multimedia pertama di Yogyakarta. Posisi kampus tak ayal lagi menjadi salah satu faktor penting yang mendukung perkembangan bisnis hunian, lebih spesifik lagi adalah hunian mewah.


Rumah Mewah dan Budaya Mencicil

Rumah mewah masih menjadi kebutuhan yang cukup “wah” bagi sebagian besar orang. Harganya yang sudah pasti mahal adalah alasan mengapa rumah mewah menjadi semakin jauh dari jangkauan bagi kocek sebagian besar orang. “Seperti mimpi kalau mau punya rumah kaya yang ada di majalah-majalah,” tutur Titik Sri Wulandari, seorang pegawai di sebuah instansi pemerintah. Mengingat rumah adalah pencitraan keinginan dan sisi personal dari penghuninya, maka urusan yang berhubungan dengan masalah rumah menjadi sangat penting. Akan tetapi, kesulitan memiliki rumah agaknya mulai ditemukan jalan keluarnya. Banyak lembaga keuangan (bank), baik yang berplat merah maupun swasta, menyediakan sarana bagi nasabah untuk memiliki rumah impian melalui jalan mengkredit. Rumah yang dulu tampaknya jauh dari nyata menjadi lebih mudah untuk diwujudkan.
KPR (Kredit Pemilikan Rumah) menjadi program yang diunggulkan di beberapa bank. Bahkan, ada lembaga keuangan yang menjadi identik dengan program mengkredit rumah. Salah satu contohnya adalah Bank BTN. Posisinya sangat tersohor sebagai lembaga keuangan pengucur dana pemilikan rumah bagi masyarakat. Bank BTN termahsyur sebagai bank yang memberikan kredit rumah bagi masyarakat yang berada di tingkat ekonomi menengah hingga ke bawah. Jejaringnya cukup merakyat. “Wah, saya malah senang kalau Bank BTN bisa disebut sebagai bank yang melayani masyarakat kelas menengah ke bawah,” R.Hendriono, kepala cabang BTN Yogyakarta, menuturkan kepada Rumah Jogja.
BTN menjadi identik dengan kredit kepemilikan rumah di kalangan kelas menengah ke bawah bukan karena tanpa sebab. Jejaringnya memang begitu luas. Hingga muncul istilah “rumah BTN”. Sekadar contoh adalah kawasan padat penduduk di kota Bandung, yaitu di daerah perumahan Antapani. Hampir sebagian besar kredit kepemilikan rumahnya dipercayakan kepada bank BTN. Begitu pula dengan daerah-daerah lain di Indonesia, termasuk di dalamnya kota Yogyakarta.
Kalau Anda berpikir bahwa kredit hanya terbatas pada kalangan menengah ke bawah, maka ada baiknya Anda menata ulang pemikiran ini. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena pada kenyataannya para orang berpunya juga berkepentingan dengan dunia kredit-mengkredit. Sekadar contohnya adalah yang terjadi di BTN. Bank ini menyediakan program kredit pemilikan rumah bagi kalangan yang ternyata adalah menengah ke atas. Program ini mengusung nama KPR BTN Platinum dengan slogan “Mewujudkan Citra Ekslusif Hunian Anda”. Program kredit ini memang diperuntukkan bagi keluarga menengah ke atas. Mengingat harga tanah yang kian melambung tinggi, maka dampaknya bisa langsung dirasakan pada naiknya harga jual rumah. Harga rumah yang cukup mahal secara otomatis berdampak pada naiknya permintaan kredit di lembaga-lembaga keuangan. Terlebih lagi untuk kawasan Kabupaten Sleman yang memang sengaja diperuntukkan bagi pembangunan perumahan kelas menengah ke atas. Maka, waktu panen telah tiba bagi penyedia kredit rumah kelas menengah ke atas, termasuk di dalamnya rumah mewah. Berdasarkan kategorisasi yang dibuat oleh BTN, perumahan yang disebut sebagai mewah jika harganya di atas Rp 150.000.000,00. “Kredit rumahnya justru lebih banyak di golongan menengah ke atas,” tutur Hendriono. Lelaki berdarah campuran Jawa dan Sumatera ini menuturkan bahwa permintaan kredit rumah menengah ke atas ini disebabkan oleh naiknya harga tanah di kawasan Sleman. Hal ini pula yang menyebabkan naiknya nilai investasi di Jogja. “Rumah memiliki fungsi ganda, tidak hanya sebagai tempat tinggal, melainkan juga sebagai tabungan masa depan atau investasi,” imbuh Jeffri, PT. Santori Hutama, di lain kesempatan. Semakin tingginya nilai investasi rumah membuat khalayak tak lagi ragu-ragu mengambil kredit rumah di bank. Jadi, jika suatu ketika Anda terkagum-kagum saat lewat di depan sebuah kawasan perumahan elit, Anda tak perlu berkecil hati karena ternyata rumah mewah nan megah itu juga dimiliki dengan cara mengkredit. Kredit ternyata sudah menjadi aktivitas yang tidak hanya dilegitimasi sebagai tindakan masyarakat kelas bawah saja. Kredit telah merangsek dalam gaya hidup kaum menengah ke atas. Beberapa waktu ke depan tak hanya istilah “murah meriah” saja yang sering kita jumpai, melainkan juga “mewah meriah”. Selamat datang dalam budaya mencicil!!! (nanda kumalasari)

8 komentar:

Anonim mengatakan...

Sukses sll buat Rumah Jogja!

Anonim mengatakan...

klo di jogja rumah harga 125jt dapet tipe seperti apa ya ? trus duhh.. pengen punya rumah yg ga terlalu ribet sama kiri-kanan ! capek !

ASEP TEDI RESPATI mengatakan...

salam dari bandung
artikel artikel menarik ... bolehkan aku link ke log aku, sekalian minta ijin posting artikel anda klo bekenan :)

salam
-teDI-

Arie Ferdiansyah Properti Kontruksi Sosial Komunikasi mengatakan...

Anda butuh design bangunan,rumah,gedung,gudang,ruko,dllperencana silahkan hubungi saya ferdy 085649842128,original dan proporsional

dipo mengatakan...

Saya tertarik untuk berlangganan majalah rumah jogja. Mohon informasi prosedurnya.

terimakasih

andy mengatakan...

untuk informasi rumah dan tanah dijual untuk wilayah jogja klik :
www.tanahrumahjogja.com

Ari mengatakan...

FYI, sejak pertengahan tahun 2012, majalah rumahjogja sudah berganti nama menjadi majalah RumahJOGJA Indonesia yang tetap terbit setiap bulan. Info selengkapnya bisa lihat di http://www.rumahjogjaindonesia.com/

antok mengatakan...

Rumah di Jogja memang unik. Di sisi lain biaya hidup murah tapi harga rumah tidak muarah alias wajar atau tinggi, tetapi kenaikan investasinya luar biasa cepat.
JUAL BENIH IKAN BERKUALITAS
JUAL RUMAH JOGJA YOGYAKARTA